PEMILU 2014: Visi Pembangunan Maritim Para Capres
Kampanye
hitam yang menjadi polemik
di sejumlah media sebaiknya kita tinggalkan, dan kita fokuskan pada apa
sesungguhnya yang diwacanakan oleh para capres dan cawapres dalam upaya
mensejahterakan rakyat, utamanya dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Kita
perlu mencermati seperti apa visi dan misi para capres dalam pembangunan
kelautan dan perikanan.
Sebagai
Negara maritim yang dua pertiga wilayahnya adalah laut, dengan panjang
pantainya mencapai 81 juta kilometer, sudah sepantasnya pembangunan kelautan
dan perikanan menjadi prioritas utama. Mengapa? Karena siapa yang menguasai
laut, merekalah yang menguasai perdagangan.
Dan itu berarti kesejahteraan rakyat.
Sayangnya
perhatian pembangunan kemaritiman sejak kita merdeka belum terlalu serius. Lagu
“nenek moyangku seorang pelaut” masih sebatas nyanyian dan belum mampu menjadi
motivasi untuk menentukan kiblat pembangunan dan kekuatan bangsa kedepan.
Kebijakan pembangunan di bidang maritime (kelautan) belum menjadi prioritas
utama.
Selama
ini kita hanya disuguhi nyanyian pilu para nelayan yang terjerat rentenir,
pencurian ikan oleh kapal-kapal asing (illegal fishing), impor ikan untuk
industri dalam negeri, impor garam, dan sebagainya. Sebagai catatan, di
Kalimantan Barat saja, akibat pencurian ikan mengakibatkan kerugian mencapai 20
trilyun rupiah lebih pertahun. Ini belum termasuk kerugian dari pencurian ikan
di wilayah timur yakni di perairan Laut Arafura, Laut Sulu dan Laut China
Selatan yang mencapai Rp 50 triliun (Tempo.co,
20 Desember 2012).
Data
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan hasil pemantauan dengan
menggunakan Satelit Radarsat, jumlah kapal ikan yang beroperasi di Laut
Arafura rata-rata mencapai 12.120 kapal setiap tahun, dengan jumlah
kapal illegal fishing
mencapai 8.484 kapal per tahun. KKP mengkalkulasi nilai kerugian
Indonesia akibat illegal
fishing di Laut Arafura setiap tahun mencapai Rp 40 triliun. Jika
dihitung sejak tahun 2001 sampai 2013, maka nilainya bisa mencapai Rp 520
triliun!
Pantas
saja kalau mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengkiritik kebijakan
kelautan selama ini hanya “jalan di tempat” selama sepuluh tahun terakhir.
Di masa pemerintahannya, Mega
berusaha membesarkan penelitian untuk masalah kelautan dan perikanan. Saat
krisis moneter Megawati sempat membuat pompa solar mini dan pabrik es mini
dengan maksud untuk mengurangi biaya transportasi yang sangat membebani nelayan
saat itu. “Namun pompa solar kini tak jelas nasibnya,” kata Megawati ketika
berbicara dalam seminar nasional tentang kelautan di Gedung Merdeka Bandung
Jawa Barat 11 Juni 2014 (Tempo.co).
Tapi kita perlu memberikan apresiasi
kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip
Sutardjo yang mampu menaikkan produksi perikanan Indonesia meningkat 26,2
persen pada 2013 dibandingkan dengan produksi pada 2012. Total produksi
perikanan pada 2013 mencapai 19,56 juta ton dari sebelumnya 15,5 juta ton di
2012. Sedangkan target pada 2013 hanya dicanangkan sebesar 17,49 juta ton. Ini memang
belum cukup karena sesungguhnya masih dapat digenjot lagi produksinya bila
serius membangun Indonesia berkiblat ke laut dengan pengembangan teknologi
modern.
Visi Jokowi
Calon presiden Jokowidodo dalam
kesempatan memaparkan visi dan misinya di hadapan peserta seminar nasional Hari
Nusantara di Bandung (11/6/2014), menyampaikan empat
hal besar yang harus dilakukan untuk restorasi maritim Indonesia.
Pertama,
mengatasi pasar gelap tuna dan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif. Kedua, memberantas illegal fishing. Ketiga, melakukan ekspansi
terhadap hasil budi daya laut. Keempat,
memajukan ketenagakerjaan atau padat karya pada sektor maritim.
Terkait
maraknya pasar gelap tuna, Jokowi memperkirakan Negara merugi hingga Rp 14
triliun. Uang sebanyak itu hilang ditelan pasar gelap. Makanya Jokowi akan
meningkatkan manajemen pengawasan untuk pasar tuna.
Untuk
pencegahan illegal fishing,
Jokowi mengagendakan penggunaan drones
dan penguatan pengamanan laut yang disertai dengan manajemen pengawasan yang
baik dan teratur.
Drones
adalah
pesawat tanpa awak seharga sekitar 1,5 trilyun yang bisa digunakan untuk
pertahanan keamanan negara, memonitor illegal
fishing dan illegal
logging serta memantau adanya kebakaran hutan.
Untuk
ekspansi budi daya laut, bisa dilakukan dengan memaksimalkan jumlah keramba dan
jaring apung di lautan nusantara.
Terkait
ketersediaan lapangan kerja pada sektor maritim, dilakukan dengan dua cara,
yakni menambah armada kapal penangkap ikan dan perluasan lahan untuk budi daya
laut. Jokowi berjanji akan menambah 400 ribu hektare lahan budi daya laut,
sebagai program padat karya bidang kelautan. Penambahan itu dapat memberikan
lapangan kerja bagi 6,7 tenaga kerja sektor maritim yang bisa terangkut dalam
proses padat karya bidang kelautan. Untuk ini Jokowi akan memberikan akses
kredit yang besar bagi nelayan melalui bank agro maritim.
Jokowi
juga akan membeli kapal besar penangkap ikan seharga kurang lebih 1,5 trilyun
dan sekaligus memproduksi ikan dalam kaleng di dalam kapal itu, seperti
dilakukan Negara lain yang suka mencuri ikan di kawasan Indonesia.
Yang
terbaru dari Jokowi adalah pemikirannya yang akan membangun “tol laut” yang
akan memecah kebuntuan transportasi di Indonesia. Yang dimaksud dengan tol laut
adalah jalur distribusi logistik menggunakan kapal laut dari ujung pulau
Sumatera hingga ujung Papua. Di di tengah-tengah ada pelabuhan dalam. Dengan
demikian, kapal-kapal bisa berlabuh di sana.
Cara ini juga dapat mengatasi pemerataan pembangunan di seluruh
Indonesia. Selain itu, harga-harga barang serta kebutuhan sehari-hari bisa sama
rata atau paling tidak kenaikannya tidak terlalu besar.
Visi Prabowo
Pasangan Capres-cawapres
Prabowo-Hatta juga akan mengembangkan industri maritim di
Indonesia sebagai pilar pembangunan bangsa kedepan. Saat memberikan sambutan
pada seminar nasional di Bandung, Rabu (11/6), Hatta Radjasa menyatakan, melalui industri maritim Indonesia akan
menjadikan bangsa yang lebih kuat, maju dan berkembang. Siapa yang menguasai
laut ke depan berarti menguasai perdagangan dan akan menjadi macan Asia.
Transportasi perdagangan antar-pulau di wilayah kedaulatan Indonesia hanya
dapat dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia. Laut menurut pasangan Prabowo-Hatta
harus dipandang tidak hanya dari sisi geo-ekonomi tetapi juga geo-strategis dan
geopolitik. Filosofis semacam ini harus menjadi kerangka kebijakan lima hingga
10 tahun kedepan.
Pasangan ini sadar
sesadar-sadarnya bahwa merancang pembangunan Indonesia sebagai Negara maritim yang berdaulat, bermartabat dan
berdaya saing tidak mudah. Diperlukan tahapan dan langkah komprehensif untuk
mewujudkannya mengingat selama ini laut belum dilirik sebagai orientasi
pembangunan secara seksama, melainkan hanya sekadarnya saja.
Untuk itulah langkah pertama yang harus dilakukan adalah
mengubah paradigma bangsa kembali menjadi bangsa maritim melalui pendidikan dan
pembentukan karakter SDM yang handal melalui menyusunan kurikulum berbasis
maritim di semua jenjang pendidikan. Kedua,
membuat Maritime Policy sebagai
pondasi dalam membangun Indonesia menjadi negara maritim melalui sinkronisasi
kebijakan-kebijakan yang sudah ada dan membuat kebijakan lain untuk melengkapi
landasan hukum dalam membangun Indonesia menjadi negara maritim. Ketiga, membuat grand desain pembangunan maritim dan merestruksturisasi lembaga
negara yang akan melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut.
Action plan dan implementasi pembangunan maritim akan difokuskan pada 10 prioritas, yaitu Menyusun Tata Kelola Laut dalam konsepsi Negara Maritim, Pengembangan IPTEK Maritim, Pengembangan Infrastruktur Maritim, Pemerataan Pembangunan Industri dan Jasa Maritim di seluruh wilayah NKRI, Pembangunan Sistem Transportasi Laut yang sinkron dengan Sistem Logistik Nasional, Membangun Sistem Pertahanan dan Keamanan Maritim yang tangguh dan berkelas dunia, Pengembangan Perikanan Laut yang berdaya saing.
Kemudian, Optimalisai Potensi Migas
dan Mineral di laut serta Ocean Energy, Pelestarian Lingkungan Maritim, dan
Pembangunan Sistem Mitigasi Bencana sebagai konsekuensi Indonesia berada pada ring of fire.
Strategis dan praktis
Tampaknya kedua pasangan
capres-cawapres memiliki kesamaan pandangan, bahwa laut akan menjadi prioritas
pembangunan. Bedanya adalah Jokowi-Jusuf Kalla lebih pada action langsung ketimbang penentuan grand disain. Seperti tampak dalam gaya blusukannya di Jakarta,
Jokowi lebih senang melakukan apa yang sedang dibutuhkan sehingga dapat segera
dilihat dan dirasakan masyarakat.
Cara cepat dan instan yang dilakukan
Jokowi itu sama seperti ketika terjadi krisis pangan dan energy selama ini. Rakyat
dibagikan gratis
beras sehingga terkenal dengan raskin (beras untuk rakyat miskin). Kemudian
ketika harga BBM naik dan diperlukan pencabutan subsidi minyak tanah, rakyat
dibagikan gratis tabung gas dan kompor agar menggunakan gas. Ibarat orang sakit
pegal dan linu, ditambal koyo atau di berikan
minyak angin di
bagian yang sakit. Di sinilah strategi keamanan pangan dan energy sering
dipertanyakan.
Mudah-mudahan apa yang dipaparkan
Jokowi dengan beragam aksi yang segera akan dilakukan jika terpilih menjadi
presiden itu merupakan program darurat,
tanpa melupakan keinginan rakyat agar Indonesia menjadi Negara maritime besar
yang disegani seperti terukir dalam sejarah Nusantara.
Sementara itu visi Prabowo Subianto
yang hendak mengembalikan Indonesia sebagai Negara yang kuat dan disegani,
dengan tag line “menjadi macan Asia”
tidak sekadar slogan. Jika ia menjadi presiden, tentu rakyat akan senang jika
penguasaan teknologi kelautan diperkuat, khususnya penyiapan sumber daya
manusia melalui pendidikan. Bagi kalangan akademisi, tentulah program itu
menjadi angin segar yang ditunggu realisasinya. Apalah artinya teknologi yang
terus berkembang, jika tidak dibarengi dengan kemampuan SDM. Apalah artinya
visi yang besar jika tidak dibarengi dengan kemampuan para pelaksananya di
lapangan, yang akan terjadi adalah tetap menjadi sasaran empuk “penjajahan”
dari bangsa lain.
Kita tunggu saja, visi dan misi para capres itu dapat
dilaksanakan karena sesungguhnya, kita telah menegaskan misi pembangunan
kelautan yang terdapat pada Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional serta mampu mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia.
Blue energy
Saat ini, pembangunan di bidang
kelautan dan perikanan yang penting dikembangkan adalah tentang blue energy atau ekonomi biru. Konsep
ini sesungguhnya adalah konsep ekonomi yang mengedepankan
efisiensi industri kelautan dan perikanan. Semua produk perikanan tak ada yang
tak berguna, semuanya menjadi bermanfaat. Contohnya adalah ikan dikemas tanpa
duri, durinya (limbahnya) dibuat krupuk dan makanan olahan lain yang berguna,
hampir tidak ada sisa, semuanya bermanfaat.
Konsep
efisiensi semacam ini sebenarnya mengikuti hukum alam dan tanpa merusaknya.
Konsep ini menciptakan produksi yang bersih tanpa limbah. Pada akhirnya konsep
ekonomi biru ini berpotensi melahirkan jutaan wirausaha baru. Selain bisa
menghadirkan banyak peluang usaha baru, penerapan ekonomi biru dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang.
Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo pernah mengatakan (Antara, 7/12/2013), untuk mewujudkan
ekonomi biru, diperlukan pengembangan SDM (sumber daya manusia) melalui program
vokasi (penguasaan keahlian terapan tertentu) yang disesuaikan dengan tuntutan
dunia usaha dan industri. Kata kuncinya adalah adanya kolaborasi antara
pengembangan SDM yang disesuaikan dengan dunia usaha dan industry.
Kita
berharap Capres siapapun yang akan mengemban amanah rakyat terus menjalankan
konsep ekonomi biru. Sebab, Indonesialah yang memperkenalkan blue economy dalam forum
internasional Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 di Rio de
Janeiro, Brasil, Juni 2012.
Sejak
itu Indonesia mengajak dunia berpaling ke laut, karena di sanalah sumber
kekayaan ekonomi masa depan. Dan presiden mendatang, benar-benar berkomitmen
untuk menjelankan konsep cerdas ini sebagai ikhtiar memajukan dan memakmurkan
rakyat Indonesia. Semoga!
Comments
Post a Comment