Rahasia Sekeping Cokelat
Coklat. Makanan manis yang diberikan kepada orang-orang
berhati manis atau dibeli oleh penyuka rasa manis. Satu bloknya yang berupa
kotak kecil itu dapat mengisi sebuah hati yang kosong. Dengan apa? Tentunya
dengan cinta. Percaya? Coba saja.
Pipin sedang asyik menikmati sebatang coklat pemberian dari
seseorang. Ia juga belum tahu seseorang itu siapa. Yang jelas pada malam itu,
saat ia membuka tas untuk mempersiapkan buku pelajaran, ada sebatang coklat di
sana. Menyembul di antara buku-buku.
Penasaran, ia keluarkan semua isi tas. Barangkali ada surat
atau hadiah lain terselip. Pipin menyeringai dalam hati. Tidak ada. Akhirnya ia
amati coklat itu.
Coklat bermerek terkenal dengan gambar orang berselancar di
putihnya salju. Coklat kesukaannya. Siapa ya orang yang telah berbaik hati
memberinya ini? Dalam rangka apa?
Ia pun membuka bungkus coklat itu. Eh, ada tulisan di
baliknya. Dibacanya lekat-lekat.
Hi temanJ Selamat menikmati coklat ini. Rasakan
manisnya dan temukan sensasi lain di dalamnya. Salam… Mr.M
M? Siapa? Nggak ada deh temen yang nama depannya M. Udah ah,
peduli amat. Buka aja sekalian jadi temen belajar. Lumayan lima blok, batinnya
berkata.
Pipin benar-benar menikmati rasa manis coklat tersebut. Makasih M udah ngasih, sahut batinnya.
Ia menunggu sebuah rasa lain yang disebut sebagai sebuah sensasi. Tapi apa? ia
terus menggigit hingga coklatnya tinggal dua blok lagi.
Kerongkongannya tiba-tiba pahit. Coklat yang semula nikmat
menjadi enek. Lidahnya pun tidak berkompromi lagi. Pipin langsung mengamati
coklat itu lagi.
Ada apa lagi sih di dalam coklat ini selain rasa manis yang
berubah menjadi rasa pahit? Ia pun memutuskan untuk memakannya kembali besok.
JLJLJ
Ayam kokok bersahut.
Kicau burung pagi hari mengiringi langkahnya
menuju sekolah. Udaranya sejuk mengisi paru-paru dengan oksigen dan
terasalah kesegarannnya ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Matahari
bersinar cerah.
“Pin!” panggil sebuah suara. Pipin pun menoleh. Sesosok tubuh
menghampirinya.
“Ada apa Je?” tanyanya.
“Bareng yuk,” ajaknya.
“Yee... Kirain ada apa. Gaya loe sih kayak mau nyampein
berita besar aja,”
“Sebenernya iya juga sih,” jawab Jeni. Tampilannya rada
nyentrik. Ciri-ciri yang mencolok selalu memakai handband dan kaos kaki
mgejrenk bergambar yang berbeda pasangan. Rambutnya sih ada yang berubah. Hanya
dikuncir ala ekor kuda. Biasanya dikepang 12!
“Kau tahu Mr. M?” tanya Jeni.
Pipin diam sejenak. Nama itu mengingatkannya pada coklat yang
ia makan semalam. “Kenapa dengan dia?”
“Aku dapat coklat dari dia. Trus…” Belum sempat Jeni
merampungkan ceritanya, Pipin sudah heboh.
“Loe dapat coklat juga?” matanya membulat.
Jeni mengangguk. “Dan ada tulisan ini,” ia menyodorkan
bungkus coklat itu. Ada tulisan di baliknya.
Rahasia Sekeping Coklat
Kawan satu
diolah
Kuberi kotak
susu
Tahu kecil
nabati
Sebuah atau
membeku
Rahasia bulat
dibeli
Padamu laksana
manis
Tentang koin
rasa
Hal dibungkus
kelembutan
Sederhana bagai
emas
Inilah rahasia
murni
Tentang jadilah
coklat
Menikmati kepingan
berbggi
Mr. MJ
“Maksudnya?” tanya Pipin.
“Justru itu yang aku mau tanya padamu.”
Mereka pun sama-sama menatap sekali lagi lembaran itu.
“Lalu coklatmu sekarang mana?” tanya Pipin.
“Ada di dalam tas. Aku
belum makan. Soalnya syarat makan coklat ini harus ngerti puisi ini dulu.,”
“Emang Mr. M bilang gitu?”
“Ini lho…”
Hi teman…
selamat menikmati coklat in ya. Semoga suka. Tapi sebelum itu pahami puisi ini
dulu ya…><
“Yaaahhh… kelamaan. Loe bakal nunggu sampai ngerti?”
Jeni mengangguk. “Habi rasanya kurang etis kalo belum
memenuhi syaratnya. Ntar nggak nikmat lagi,”
“Terserah loe deh,” sahut Pipin akhirnya sambil mengedikkan
bahu.
Tanpa sadar gerbang sekolah sudah di depan mata. Mereka
berusaha merupakan perihal coklat sejenak. Fokus mereka sekarang belajar.
Tampaknya ada seseorang dari kejauhan melambaikan tangannnya pada mereka sambil
menunjukkan geliginya.
“Jeni, Pipin… hi..hi…”
“IIhhh…”sahut mereka bersamaan. Segera mereka berpaling.
Dasar anak aneh, suka menyendiri di bawah pohon sambil ketawa-ketawa sendiri.
Seringnya sih bawa kertas sama pulpen di telinganya. Salam yang ditolak itu
hanya ditanggapi cengiran olehnya.
Kelas XI IPA 1
“Buka buku Fisika kalian. Segera periksa jumlah latihan dan
kumpulkan di meja Ibu,” perintah Bu Prita. Sudah menjadi kebiasaan jika setiap
bulan sekali Bu Prita selalu mengecek pekerjaan rumah anak muridnya. Lumayan
buat tambahan nilai tugas.
Saat itu Pipin sibuk mencari buku tugas Fisikanya. Tanpa
sadar dua blok coklatnya jatuh. Lola yang melihat rezeki, langsung disambar
aja. Pipin yang baru sadar coklatnya diambil kalah cepat.
“Buat gua satu!” seru Lola semangat. Tapi dengan nada
tertahan.
“Wah, coklat. Satu dong!” tambah Teri. Anak cowok yang yang
duduk di depannya. Ini lagi ikut-ikutan, sungut
Pipin. Mau tak mau ia merelakan sisa coklatnya yang sudah masuk dalam kunyahan
mereka.
Aduh, belum juga dapat sensasi lain sudah diambil orang.
Huuhh… nasib. Makanya jangan pelit,
bisik hatinya yang lain. Mau nggak mau ia harus mengikhlaskan coklatnya dan
kembali menekuri pelajaran Fisika kalau tak mau mendapat tatapan curiga dari Bu
Prita. Sementara Teri dan Lola mengikik bersama.
Kelas XI IPS 2
Jeni asyik mengobrol dengan Yoki, teman sebangkunya ketika Bu
Dara guru Bahasa Indonesia masuk kelas. Suasana yang bising pun berubah damai
seketika. Suara hak Bu Dara terdengar menapaki lantai demi lantai kelas yang
diikuti tatapan murid-muridnya. Mereka berjalan teratur menuju bangkunya
masing-masing.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” salam Bu Dara.
“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” koor anak-anak
kompak.
“Selamat pagi!”
“Pagi!”
Setelah ucapan selamat datang Bu Dara menekuri absen. “Baik
anak-anak. Laksana mentari yang kian tinggi. Semangatmu pun menanti-nanti. Tak
boleh ujung kuku merobek-robek kertas tak bertuan. Hanyalah memahat konotasi
bermakna,” Bu Dara mulai berdiksi.
Kelas hening belum tahu maksud sang guru. “Materi sekarang adalah
puisi. Untuk siswa atau siswi yang berani maju ke depan kelas untuk membaca
puisi akan mendapat nilai tambahan.”
Anak-anak saling menoleh. Sementara Jeni mulai berpikir dari
balik mejanya. Segera ia ambil surat dari Mr. M dan bangkit dari kursi. Sontak,
teman-temannya mengeluarkan decak kagum.
Jeni melangkah anggun dengan gayanya yang strength. Ia pun berdiri di depan kelas.
“Tapi, Ibu ingin melihat puisi itu dulu,” pinta Bu Dara. Jeni
pun menghampiri meja sang guru lalu memberikan kertas itu. Ia berharap akan
tahu maksud puisi itu. Sejenak Bu Dara bertopang dagu. Tak lama, terbetik
sebuah senyuman kecil.
Sejenak ia menatap Bu Dara untuk mendapat komando. Bu Dara
hanya mengangguk.
“Ehem…” tenggorokannya ia benarkan dulu. Mencari nada suara
yang pas.
“Rahasia Sekeping Coklat oleh M…”
Ia pun mulai berintonasi, melakukan penghayatan sebisa
mungkin tentu dengan ekspresi, dan melafalkannnya dengan baik. Di akhir kata,
teman-temannya mengapresiasi. Sejenak mereka terpukau karena tak mengerti, tapi
keindahan bahasa itu tetap ada. Sorakan pun keluar dari mereka.
“Ehem…” Suara Bu Dara terdengar menengahi kericuhan. “Puisi
itu bicara tentang coklat. Siapa yang
membuat anak-anak?”
“EemMm” jawab anak-anak serempak.
“Sejujurnya Ibu belum pernah dengar nama itu. Tapi ada
keunikan tersendiri dari puisi tersebut. Puisi yang mempunyai tiga kata di
setiap barisnya yang dapat dibaca juga secara vertikal ke bawah, dan
menghasilkan puisi baru dengan tiga bait. Mau dengar?”
Anak-anak mengangguk.
“ Rahasia Sekeping Coklat
oleh M
Kawan, kuberi tahu
Sebuah rahasia padamu
Tentang hal sederhana
Inilah tentang menikmati
Satu kotak kecil
Atau bulat laksana koin
Dibungkus bagai rahasia
Jadilah kepingan
Diolah susu nabati
Membeku dibeli
Manis rasa kelembutan
Emas murni, coklat berbagi
“Bagaimana?” tanya Bu Dara menanti pendapat dari anak
didiknya.
“Wah, hebat dia. Menghadirkan dua puisi dalam satu,” komentar
Fadhil.
Bu Dara mengangguk. “Silakan Jeni. Kamu bisa kembali ke
tempat duduk.”
Anak-anak pun bersorak kembali. Dalam hati Jeni, ia sudah
dapatkan kunci. Emas murni, coklat
berbagi…
JLJLJ
Siangnya Pipin dan Jeni pulang bersama.
“Jen, coklat gue yang dikasih Mr. M udah abis. Dicolong sama
dua sigung,” curhat Pipin.
“Dua sigung? Siapa? Jangan-jangan si Lola sama Teri ya?”
tebak Jeni.
“Yoyoi. Dasar jail tuh anak. Gara-gara coklatnya jatuh dari
tas sewaktu mencari buku Fisika. Mereka berdua langsung ngambil. Padahal belum
dapat sensasi lain dari coklat itu. Malah rasa pahit,”
Diam sejenak. Angin bertiup lembut di tengah mentari
berterik. Sesekali angkutan umum lewat.
“Pin, kayaknya aku udah tau makna puisi itu,”
“Apa?”
“Berbagi,” jawabnya sembari memiringkan kepala. Membuat kuncir ekor kudanya jatuh.
“Berbagi,” jawabnya sembari memiringkan kepala. Membuat kuncir ekor kudanya jatuh.
“Gimana loe tahu? Kita kan sama-sama lemah dalam sastra kayak
gitu. Walaupun,….well gue akui kadang loe emang lebih paham masalah kayak
gini,”
“Tadi puisi itu aku baca di depan kelas. Dan ternyata ada
versi lain yang dibacakan Bu Dara. Kau mau dengar?”
“Boleh.” Setelah mendapat persetujuan Pipin, Jeni segera
mengambil surat itu dari kantong seragamnya.
“Puisi ini ada tiga bait. Bait pertama dari kata depan setiap
baris. Coba kau baca dari sini hingga ke bawah,” tunjuknya. Pipin pun melihat
arah telunjuk Pipin dan mulai membaca bait pertama.
“Bait kedua adalah setiap kata tengah kolom kedua,” Pipin
mengulangi cara yang sama untuk bait kedua dan ketiga.
“Aku mengerti. Bait pertama tentang Rahasia. Bait kedua
tentang Sekeping. Dan bait ketiga tentang Cokelat,”
“Ya.” Mereka masih menikmati puisi itu hingga berada di depan
sebuah toko.
“Sebentar Jen, gue mau beli sesuatu,” tahan Pipin. Ia pun
segera berlari menuju toko tersebut. Tak lama kemudian di tangannya sudah ada
sebatang cokelat berisi 5 blok dengan merek berbeda dari yang ia dapat kemarin.
Biasa disebut ‘Ratu Perak’.
“Kau mau coba?”tanya Jeni mengarah pada puisi Mr. M.
Pipin menggeleng. Jeni sudah bisa menebaknya. Kalau boleh
dibilang sih… Pipin memang sedikit pelit. He…he… Jeni pun meresponnya dengan
mengedikkan bahu.
“Gue mau coba makan satu-satu dalam tiga hari ini. Kalo emang
belum nemu sensasi lain, baru coba ‘seni menikmati lain itu’,”
“Oke.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan disusul cerita lainnya.
Hingga tiba di pertigaan jalan, arah mereka berbeda. Jeni belok, sedang Pipin
lurus. Mereka pun berpisah.
JLJLJ
Di kamarnya, Jeni megeluarkan cokelatnya yang masih utuh.
Diamatinya lekat-lekat. Dalam bayangnya tertera sebuah pertanyaan. Buat siapa aja cokelat ini?
ia pun meraih puisi itu dan mulai membacanya kembali.
Satu kotak kecil
Hal dibungkus
kelembutan
Sederhana bagai
emas
Berarti
satu blok ini dapat memberi sebuah arti bagi penerimanya, simpulnya. Baiklah 1 untuk adik. 1 untuk Yoki, teman sebangku. 1 untuk Fafa karena
sering bantu ajarin Matematika. 1 untukku dan 1 untuk siapa? Pipin? Dia kan
sudah dapat. Biarlah yang satu ini nganggur dulu. Rezeki siapa ya ini? Jeni
tersenyum sendiri. Membayangkan reaksi yang diterima teman-temannya. Tangannya
mulai engambil gunting untuk membelah blok-blok cokelat itu. Setelah itu ia
menyimpannya dalam kotak kecil.
Semoga
mereka senang, doanya dalam
hati.
Esoknya setelah sarapan. Jeni
memanggil adiknya. “Doni…”
“Apa?”jawabnya ketus. Ia masih
melipat tangannya di depan dada sambil duduk di kursi meja makan. Memasang
tampang cemberut gara-gara dimarahi Papa. Salah sendiri sih, buang-buang
makanan.
“Doni…” panggilnya lagi. Kaena
tidak ada reaksi, ia pun menghampirinya. Sambil menyodorkan kotak cokelatnya.
“Kakak punya cokelat nih. Kalau mau ambil satu,”
Doni melirik sekilas ke arah
cokelat itu lalu ke kakaknya. Tapi tangannya belum bergerak.
“Terakhir ya Kakak tawarin.
Soalnya Kakak mau berangkat sekolah nih. Nanti telat. Kamu mau nggak
cokelatnya?”
Satu…dua…tiga…
Tangan Jeni masih menggantung. Dasar gengsi tingkat tinggi. Kayak nggak tau
kalo dia suka banget sama cokelat.
“Ya sudah kalo nggak mau. Rejeki
kamu ilang,” ucap Jeni akhirnya sambil menarik wadah cokelat itu dari hadapan
Doni. Ia pun mulai menutupnya.
“Eh Kak, mau deh,” sahutnya.
“Huuu dasar! Dari tadi kek. Kan
nggak ngebuang waktu,” kata Jeni sembari memberikan satu keping cokelat itu.
Mulut Doni mengerucut. Tapi
akhirnya tersenyum juga. “Makasih Kak,” ucapnya sambil mengunyah cokelat.
“Ntar abis itu segera mandi.
Buruan sekolah!” perintahnya.
“Iya…” jawabnya seolah tidak
peduli.
Dasar
kelakuan anak kelas 3 SD. Kepalanya geleng-geleng kepala.
Di kelas, Yoki mengomentari gaya
rambutnya yang dikepang empat. “Ha… mode rambut berubah tiap hari!”
“Mau? Makanya panjangin
rambutnya!”
“Ye… kayak tau rambut aku aja,”
“He..he… iya ya. Kamu kan pake
kerudung. Btw, aku lagi punya cokelat nih. Mau?” sodor Jeni. “Ambil satu,”
tambahnya.
“Sure?”
Jeni pun mengangguk. “Thanks,”
ucap Yoki sambil tersenyum. Melihat senyum itu, Jeni makin bahagia.
Sore hari adalah waktu yang biasa
Jeni gunakan untuk belajar bersama Fafa. Jeni meraih hp dan segera SMS. Fa, jadi kan belajar bersama? In your home…
Beberapa menit kemudian balasan
datang. OK-__-
Jeni pun semangat dan cepat-cepat
pergi ke rumah Fafa. Jaraknya tidak begitu jauh. Hanya beberapa blok dari
rumahnya. Sampai di gerbang, ia langsung disambut Bu Tras, ibu Fafa. Beliau
sedang menyiram tanaman.
“Masuk Jen. Langsung aja ke atas.
Sudah ditunggu Fafa,”
“Iya Bu. Terima kasih.” Jeni pun
melangkah masuk.
Suasana rumah ini bergaya
minimalis berkarakter. Perabotnya ditata demikian apik yang menggambarkan
suasana Padang yang kental. Seperti karpet, lukisan Minang, dan
pajangan-pajangan kecil yang tertata rapi di rak. Ditambah bahasa sehari-hari
yang mereka gunakan. Padang asli!
“Assalamu’alaikum,” salam Jeni.
“Wa’alaikumsalam. Masuk Jen!”
seru Fafa dari dalam.
“Jen, ada teater baru nih di
Gedung Kesenian Jakarta. Dateng yuuk,” ajak Jeni tiba-tiba sambil menunjukkan
iklan itu di koran. Rupanya ia sedang melihat koran hari ini.
“Tikenya berapa?” tanya Jeni. Ia
sudah duduk manis di samping Fafa.
“Tiga puluh ribu sih. Lebih mahal
dari tiket bioskop. Mau nggak?”
Jeni menimbang-nimbang sejenak.
“Boleh deh. Aku jadi penasaran. Tentang apa sih ceritanya?”
“Judulnya ‘Manusia Kaca’. Eh,
kita mau belajar apa sekarang?”
“Biasa, matematika. Aku besok
ulangan lagi,”
“Wow… have to study hard!”
komentarnya.
“O, iya. Aku punya cokelat nih
buat guru aku. Silahkan ambil satu,” sodornya.
“Wah… makasih banget. Aku ambil
ya…”
Akhirnya dua remaja itu pun
menikmati cokelatnya masing-masing, sebelum menghadapi soal-soal memusingkan
itu.
JLJLJ
Pagi tadi Pipin sudah makan satu,
sebelum berangkat sekolah. Siang tadi, sepulang sekolah juga sudah. Malam
sambil belajar juga sudah. Dua malah. Tapi belum ada sensasi lain. Memang sudah
tidak ada rasa pahit lagi. Tapi… hatinya masih terasa kosong. Coklatnya juga
serasa hambar.
Ia pun berbaring sejenak
melupakan bacaan bukunya tentang Biologi. Headset tetap terpasang di telinganya,
memutarkan lagi lagu Now or Nevernya Zack Efron di High School Musical. Lagu
jadul sih, tapi dia tetep suka.
Nggak
ada sensasi nih. Cokelat juga tinggal satu. Kalo gue makan yang terakhir ini,
nasibnya bakal sama kayak yang lainnya. Hanya merasakan kenikmatan sendiri, dan
tidak berbekas. Setelah itu hilang.
Huuh… Pipin menghembuskan nafas. Bete juga nikmatin sendiri.
Di tengah pikirannya itu, ia
terombang-ambing dalam sensasinya sendiri sampai akhirnya tertidur pulas.
JLJLJ
“Pipin!” panggil Jeni. Ia sudah
berlari dan dengan cepat menjejeri langkah Pipin. Mereka dalam perjalanan
menuju sekolah.
“Kau tahu, kemarin adalah hari
bahagia menurutku. Sensasi itu terasa Pin. Sebuah seni lain untuk menikmati,”
“Ya, gue juga berpikir begitu,”
sahutnya lirih. “Asal loe tau, cokelat itu tidak meninggalkan apa-apa. Hanya
rasa manis sesaat dan hilang. Well, itu bukan sensasi yang dicari,”
Jeni mengangguk.
Sejenak mereka berhenti. “Siapa
sih Mr. M?” satu pertanyaan yang sama-sama terlontar dari mereka.
Ketika
mereka sampai di gerbang sekolah, ada sosok yang selalu setia menyapa mereka.
“Jeni, Pipin… hi…hi…”
Mereka hanya
member senyuman sekenanya. Perhatian mereka langsung tersedot ke arah
mading sekolah yang sedang dikerumuni
murid-murid. Ada penyair baru di sekolah. Puisinya yang masuk majalah dan
koran-koran ditempel di madding sekolah. Nama yang tertera di situ U.
Mahendra/Mr. M, SMA Nasional.
Jeni
dan Pipin pun saling berpandangan.
“Ucup!” pekik Jeni.
“Mahendra!” tambah Pipin. Mereka
pun segera menoleh ke arah pohon depan sekolah, tempat tangkringan Ucup.
Ia lagi tertawa-tawa sambil
menulis di sebuah kertas. Tidak salah, rezeki satu cokelat itu memang untuknya.
Selesai.
Ruang Inspirasi, 29 Desember 2011
Comments
Post a Comment