Asinan Bapak

Jejak langkah menapaki
Sebuah kehidupan yang tak pasti

Deru sebuah dilema

Mengukuhkan hati sanubari

Dalam tapak berkesudahan

Akan hal keyakinan

Sudah... tetapkan hati

Renti sekeluarga, bersama ibu dan adiknya berdiri menyambut Bapak. Senyumnya terkembang. Wajahnya menyiratkan sinar ketakwaan. Bapak kembali dengan baju koko. Kepulangannya tidak di sangka-sangka karena setahu mereka seharusnya Bapak masih mendekam enam bulan lagi. Tapi ternyata tidak. Bapak jauh terlihat lebih baik dari sembilan tahun yang lalu.

“Semoga Bapak benar-benar berubah,” doa mereka dalam hati. Teringat akan kejadian sembilan tahun silam. Bapak yang dulu adalah seorang perampok kelas teri. Memang masih bawahan, tapi sepak terjangnya tidak diragukan. Berkali-kali bapak lolos dari cidukan polisi hingga suatu saat kakinya tertembak timah panas saat mencoba merampok bank di bagian utara Jakarta. Maka dibawalah Bapak ke pengadilan dan di sidang dengan hasil vonis sembilan setengah tahun penjara.

Bapak memulai pekerjaan halalnya dengan jualan asinan khas Bogor. Beliau terinspirasi dari temannya sesama mantan napi yang berjualan nasi goreng di pinggir jalan. Menurut Bapak, dengan jualan asinan ini...
 kita telah melestarikan makanan khas Indonesia.

Bapak seorang pekerja keras. Setiap pagi beliau bangun lebih awal untuk membuat asinan dan dijual bersama ibu. Ibunya kini pun bertambah jualannya. Yang biasanya hanya nasi uduk setiap pagi, sekarang juga dengan asinan. Adiknya kadang juga ikut bersama bapak ketika berjualan. Tapi hanya setiap sore.

Sebenarnya Renti tidak suka dengan yang namanya asinan. Makanan berair berasa asam, manis nggak jelas. Menurutnya siapa yang suka dengan makanan macam itu? Bosan, itu juga kata yang tepat. Setiap hari ia selalu disuguhi pemandangan itu di rumah.

Suatu kali ada peristiwa yang membuat ia benar-benar mencoba mengubah jalan pikiran bapaknya untuk merubah dagangan. Ketika itu ia melihat asinan-asinan yang dijual bapaknya dibuang begitu saja di tong sampah karena sudah basi. Padahal itu masih banyak. Sungguh disayangkan saat teringat bagaimana ruginya Bapak. Hatinya miris.

“Pak, gantilah jualannya. Jangan asinan. Makanannya nggak enak gitu,” ucap Renti ketika makan malam berlangsung.

“Hush. Bicara yang benar. Itu hanya persepsimu. Kamu belum mengetahui dunia yang lebih luas lagi. Ibu yakin suatu saat kamu akan mengerti,” sanggah Ibunya.

Mendengar jawaban ibunya, Renti mengernyitkan dahi. “Kamu akan mengerti, bagaimana?” ia menunggu penjelasan lebih lanjut dari Ibunya. Tapi Ibunya tetap saja diam membiarkan putrinya ini berpikir sendiri. Begitu pula Bapaknya, beliau hanya tersenyum.

“Yah, kalau kayak gini sih asinan tetap saja asinan. Renti nggak suka,” ucapnya sambil melanjutkan makannya.

“Terserah kamu sajalah Nak. Yang penting Bapakmu ini akan tetap memilih asinan sebagai barang dagangan Bapak. Mau kau suka atau tidak suka. Bapak hanya berharap doa darimu, Nak,” jawab Bapaknya. Suaranya berat, membuat Renti sedikit merinding mendengar Bapaknya bersua.

Saat itu pun, Renti merenggut kesal.



)_(



Hari Rabu yang indah. Mentari muncul dari ufuk timur. Cahayanya menelisik ke dalam rumah-rumah. Awan pun terbentang biru. Sungguh cuaca pagi ini membuat Renti bertambah semangat menuntut ilmu walau jalan yang ia lalui becek bukan main.

Sekolahnya terletak di jalan raya. Hanya saja sekarang ia menghemat tidak naik angkutan umum. Jadilah ia jalan kaki. Krisis ekonomi memang sedang melanda negeri ini. Gali lubang tutup lubang sepertinya tidak akan berakhir. Hmmh... tapi tidak apa, senyum harus terkembang menyambut pagi.

Tiba-tiba kakinya berhenti. Oh... hentikan! Sungguh ia tidak mau melihat pemandangan ini lagi. Berkantong-kantong plastik berisi asinan dibuang dalam keadaan basi. Matanya memanas. Ia tahu persis, pasti itu asinan bapaknya. Lagi-lagi ini terjadi... Gerbang sekolah tinggal beberapa meter lagi. Segera ia meninggalkan warung itu. Tapi langkahnya terpaksa berhenti ketika ada seseorang memanggilnya.

”Renti...Renti...” suara Ibu Kantin menggema.

Ia pun berbalik dan ragu-ragu menjawab, ”Ya?”

”Bilang sama Bapakmu, mbok kalau bikin asinan yang enak. Buahnya diganti. Kalo isinya mentimun, kedongdong, nanas, sawi, ya mana suka tho anak-anak. Kalo mau diganti tanpa mentimun dan sawi, jadi bengkoang dan jambu. Tuh lihat, semua tak terbeli dan basi,”

”Iya Bu. Terima kasih. Saya akan coba bilang ke Bapak,”

Saat itu sungguh hatinya benar-benar tidak kuat. Rasanya air mata ini ingin meluncur saja. Sepertinya matanya sudah memerah.

Dalam hati ia mendengus kesal. Mengapa sih bapak masih setia dengan asinannya? Sudah tahu tidak laku-laku. Tidak enak pula. Ganti saja jualannya. Tapi Bapak masih bersikukuh. Sudah berkali-kali ia mengatakan hal ini. Hasilnya nihil.

Jujur, ia sudah muak melihat Bapak jualan asinan. Setiap sore, Bapak selalu mengajaknya untuk jualan keliling dan mengantarkan dagangan. Tapi ia selalu menolak. Huh... buat apa jualan kayak gitu paling nggak laku-laku, begitu pikirnya.

Jadilah Bapak mengajak Ara, adiknya berjualan. Menitip di tiap toko-toko atau warung dekat sekolah-sekolah atau ditawarkan kepada orang-orang yang lewat, biasanya anak sekolah.

Sejak saat itu ia masa bodoh dengan pekerjaan Bapak. Yang penting uang untuk sekolah dan makannya terpenuhi. Terserah Bapak mau kerja apa. Ia tidak mau peduli lagi dengan asinan.

)_(



Teringat peristiwa hari ini di sekolah. Istirahat tadi ia bertemu seorang bapak tua. Beliau membawa sebuah tas hitam yang ternyata berisi madu. Beliau mencoba menawarkan madu itu padanya.

”Neng beli madu nih. Silahkan dicicipi dulu,” katanya sambil menyodorkan sebuah botol di hadapannya.

Renti pun bingung. Sejujurnya ia tidak ingin membeli madu itu. Ada rencana pun tidak. Tapi ketika ia melihat kedua bola mata itu, ia teringat pada bapaknya. Mata yang menyiratkan kelelahan luar biasa. Mungkin beliau telah berjalan jauh untuk menawarkan madunya dan menerima banyak penolakan. Renti yakin pasti bapak itu sangat sedih sama halnya ketika ia melihat asinan bapaknya berserakan di tong sampah.

Kemudian Renti segera berpikir. Mengapa bapak itu tidak mencoba menitip di warung? Kenapa harus di sebuah sekolah yang lebih banyak muridnya dari pada guru. Murid-murid belum tentu bawa uang banyak. Buat apa beli madu, paling di rumah juga ada yang beli, ibu, mamah, emak.

”Pak, maaf saya nggak bisa beli,” ujar Renti pada akhirnya.

”Udah Neng coba dulu aja,” paksa Bapak itu.

Sekali lagi Renti harus mengatakannya dengan berat, ”Maaf Pak...” sungguh ada perasaan sesal di hatinya setelah mengatakan ini.

Wajah Bapak itu yang tadi menyiratkan sebuah harapan, redup seketika. Beliau menunduk sambil menutup botol madunya kembali dan menaruhnya dalam tas. Renti pun segera mohon diri dan berlalu dari hadapannya.

Sampai di kelas Renti tidak bisa melupakan kejadian tadi. Ia pun berbagi pada teman sebangkunya, Rifa. ”Kamu tahu penjual madu di depan gerbang sekolah?”

”Iya tahu. Bapak itu sudah di sini dari dua hari yang lalu. Biasanya setiap istirahat datengnya. Kenapa?,” tanyanya tanpa melihat wajah Renti. Rupanya ia masih berkutat pada tugas Bahasa Indonesia.

”Tadi aku ditawari madu itu. Heran juga sih sebenernya. Kenapa Bapaknya jualan di sini. Jelas-jelas ini sekolahan, yang banyak muridnya bukan ibu-ibu atau bapak-bapak. Mending ya kalau di tawarin ke guru. Seharusnya dititipin ke warung aja. Kan bisa menghemat tenaga. Kasian udah tua. Harusnya udah pensiun kali,” jelas Renti mengutarakan kebimbangannya.

”Bener tuh. Lagipula yang dijual botolan lagi. Setidaknya kemasan biar gampang dibawa kemana-mana. Pasarnya nggak tepat,” ujar Rifa mengiyakan pernyataan Renti.

”Kenapa coba?” tanya Renti lagi.

Rifa hanya mengedikkan bahu.

Pikiran Renti terus dihantui bapak-bapak tadi. Di satu sisi ia tidak mau membiarkan bapak itu pulang dengan tangan hampa. Akhirnya ia berdiri.

”Mau kemana?” tanya Rifa. Ia sedikit kaget dengan sikap Renti yang tiba-tiba.

”Mau balik ke Bapak itu,” sahutnya. Ia segera berlari menuju gerbang sekolah. Sampai di sana ia tidak menemukan orang yang dicarinya. Bapak itu sudah pergi.

Kemudian ia menengok ke kanan dan kiri. Siapa tahu belum jauh. Tampak sesosok kecil lelaki tua berkopyah hitam berjalan tertatih-tatih membawa tas hitamnya yang berisi madu. Itu dia... Segeralah ia menyusulnya.

Sesampainya di sana, Renti langsung mengatur nafasnya sekaligus memupuk keberanian untuk mengutarakan sesuatu pada Bapak itu.

”Assalamu’alaikum,” salam Renti.

”Wa’alaikum salam” jawab Bapak itu.

”Maaf Pak saya balik lagi. Saya hanya ingin menyarankan, kenapa Bapak tidak menitipkan madu-madu Bapak di warung? Karena itu akan menghemat tenaga dan Bapak bisa istirahat. Karena kalau jual di sini kecil kemungkinan Pak bisa lakunya,” terang Renti hati-hati.

Hening. Dada Renti semakin berdebar-debar, takut bapak itu akan marah.

Sesaat, masih tidak ada jawaban hingga akhirnya bapak itu melenguhkan nafasnya.

”Sebenarnya saya sudah menitipkan madu-madu ini dekat rumah. Tapi setelah sekian lama madu ini masih teronggok belum tersentuh oleh pembeli. Sedangkan anak saya besok ujian dan belum bayar SPP. Bagaimana pun saya harus mendapat pembeli hari ini. Walaupun hanya satu botol.”

Renti terhenyak. Kata-kata Bapak ini membuat dadanya sesak. Kasus ini seperti Bapak. Makanan enak saja ada saatnya tidak laku. Berarti kalau Bapaknya rugi sesaat ia tidak perlu kecewa. Ketika itu Bapak kan baru belajar membuat asinan. Lagipula selama ini kan ia hidup dari jualannya Bapak. Kalau mengandalkan nasi uduk Ibu, aku nggak mungkin bisa sampai sekolah setinggi ini.

Ia pun merogoh sakunya berharap ia membawa uang untuk diberikan kepada Bapak itu. Tapi ternyata tidak ada. Dengan sangat menyesal ia mohon diri dari tempat itu dan segera menuju kelasnya. Dari jauh terdengar suara bel berbunyi. Ia berlari kembali setelah sebelumnya menengok ke belakang, melihat sosok tua itu mencari rezekinya.



)_(



Peristiwa itu masih membekas di hati Renti. Teringat kembali keyakinannya tiga bulan lalu bahwa ia akan masa bodoh dengan pekerjaan Bapak, yang penting uang untuk sekolah dan makannya terpenuhi. Sungguh tidak tahu diri.

Hari sudah sore. Saatnya pulang ke rumah. Bukan rumah yang ia tempati sekarang, itu hanyalah kamar kos. Tapi ini benar-benar pulang ke rumah, tempat tinggalnya sejak kecil. Keputusan mendadak memang. Tapi tiba-tiba saja ia disergap perasaan rindu akan kehangatan keluarga.

Ketika rumahnya mulai tampak di kejauhan, ia mengamatinya dengan seksama. Ada yang berbeda dari rumahnya. Rumah yang menaungi ia bersama keluarganya selama ini. Di sana seperti terdapat ruangan baru dan terlihat ramai sekali oleh orang-orang. Untuk apa? Perasaan heran menyelimuti hatinya.

Langkahnya pun ia percepat. Tak sabar menemui ibunya dan bertanya apa kabar. Adiknya Ara, ia pasti tumbuh bertambah tinggi. Bapak? Entahlah. Ia malas berkomentar.

Sampai di depan rumah, langkahnya terhenti. Takjub. Meyakinkan diri bahwa itu rumahnya. Rumah yang mengalami renovasi di setiap sisinya. Mengalami pembangunan berarti. Di halaman rumahnya dibangun sebuah ruangan lagi yang ternyata khusus untuk jualan asinan Bapak. Di bagian depan pun terpampang sebuah kain besar bertuliskan, ’JUAL ASINAN KHAS BOGOR, BAPAK EMPIK’. Matanya tambah terbelalak ketika ia melihat manfaat yang tertulis di kain itu. ’Manfaat: hidangan sehat, kaya antimikroba dan antioksidan, mengandung zat penangkal kanker dan hipertensi, membuat awet muda dan bebas osteoporosis.’ Sayang, di sana tidak dijumpainya Bapak atau pun Ibu. Hanya karyawan-karyawan yang sedang melayani pembeli.

Hebat Bapak sekarang. Apakah dirinya selama ini benar-benar ketinggalan perkembangan dan selalu menutup diri? Betapa terisolasinya, bagai katak dalam tempurung.

Ia mengetuk pintu dan mengucap salam. Ara membukakan pintu dan langsung memeluk Renti ketika tahu kakaknyalah yang datang.



)_(



Tahun-tahun berlalu. Renti kini tidak mempunyai alergi lagi terhadap asinan. Justru sekarang ia sangat mengahargai pilihan Bapak yang memilih asinan sebagai penghidupan. Dengan manfaat segudang dan aneka variasi, makanan tradisional itu jadi laris. Dulu, ia hanya tahu satu jenis asinan yang Bapak bikin. Tapi ternyata, asinan Bogor itu ada tiga jenis, yaitu asinan buah, asinan sayuran, dan asinan campuran. Tercapailah cita-cita Bapaknya untuk melestarikan makanan tradisional Indonesia.

Kini saat ia mulai menjejaki masa perkuliahan, tidak ragu ia memilih manajemen marketing sebagai jurusannya. Karena ia tahu cita-citanya sekarang dan akan belajar banyak dari ahlinya, Bapak.

Comments

  1. sungguh menakjubkan.... semoga tulisanmu bermanfa'at bagi orang banyak...

    ReplyDelete
  2. Ibu baru baca ...... ternyata sangat mengharukan. Terus produktif ! jadikan sebuah buku pada saat kamu berumur 17.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts