Satu Dunia Satu Impian

            10 Maret 2009
“Nixie, tolong antarkan makanan ini untuk tetangga sebelah kita. Nenek Crap sepertinya sedang sakit. Ibu tidak melihatnya menyiram tanaman sejak kemarin,”
“OK, Ibuku sayang!”
Dahi Nixie berkerut. Beberapa hari ini tayangan televisi sedang gempar-gemparnya membahas perampokan tempat perbelanjaan oleh sebuah kelompok. Kabarnya kerugian yang dialami mencapai tiga puluh lima juta dollar Australia. Setelah beberapa hari di selidiki, tersangka kemungkinan berasal dari Kepulauan Cook.
“Bu, tahu tidak tentang berita perampokan akhir-akhir ini?”
“Oh itu. Ibu tahu. Yang tersangkanya berasal dari Kepulauan Cook ya?”
“Iya Bu. Menurut Ibu jika tersangka itu benar-benar dari Kepulauan Cook apakah kita sebagai penduduk pengungsi akan terkena imbasnya?”
“Selama ini Ibu memang belum terpikir hal tersebut. Berdoa saja semoga itu tidak benar,”
Nixie mengangguk.
“Cepat, sekarang kamu segera pergi. Nanti makanannya keburu dingin,”
Nixie pun berdiri dan mengambil makanannya di meja makan. Mengantar makanan ini tidak akan memerlukan waktu lama karena jarak rumahnya dekat.
“Permisi. Nenek aku datang!” tangannya menekan sebuah bel. Tapi tidak ada jawaban hingga ke tiga kalinya. Saat ia ingin mencoba membuka pintu sendiri, nenek sudah membukanya.
“Maaf Nixie. Tadi Nenek sedang menerima telepon. Ayo masuk dulu,”
“Tidak apa-apa Nek. Saya takut saja jika Nenek terjadi apa-apa karena kata Ibu Nenek sakit. Apa benar?”
Nenek menghembuskan nafasnya perlahan. “Ya benar. Akhir-akhir ini Nenek sering pusing mungkin karena khawatir sekali dengan keadaan anak Nenek yang bekerja di Pemerintahan Selandia Baru. Kau tahu kan berita perampokan yang sedang gempar?”
Nixie mengangguk. “Memang kenapa Nek?”
“Situasinya sedang gawat sekarang. Anak Nenek akan dipecat karena negara kita sudah melanggar janji untuk taat peraturan dan berlaku baik sehingga penduduk negara ini merasa resah. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, mereka ingin pemerintah segera menyingkirkan kaum pengungsi Kepulauan Cook. Nenek benar-benar bingung sekarang,”
“O, begitu Nek. Lalu bagaimana tanggapan Ratu Elizabeth II, selaku kepala negara kita? Lagipula Kepulauan Cook kan masih dalam perbaikan dan penyelidikan sejak tsunami itu. Kita tidak mungkin kembali ke sana dalam waktu cepat,”
“Entahlah, Nenek juga belum tahu,”
“Ya sudah Nek. Saya ke sini untuk memberi makanan ini untuk Nenek. Dijamin enak. Kan masakan ibu saya!” seru Nixie bangga. “Sekarang lupakan dulu masalah itu, dan nikmati kelezatannya ya Nek. Saya pulang dulu,”
“Terima kasih Nixie,”
“Sama-sama,”
Pulang ke rumah, Nixie langsung memberi tahu Ibunya. Tapi ibunya terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ia hanya mengedikkan bahu.

31 April 2009
Tidak ada tanda-tanda permusuhan ini akan berakhir damai. Pemerintah Kepulauan Cook tidak mengakui jika salah satu penduduknya bersalah. Pemerintahnya punya alasan tersendiri, yaitu karena selama ini Selandia Baru memang terkenal dengan kejahatan tingkat tinggi. Bisa saja perampok sebenarnya adalah warga Selandia Baru yang mengambinghitamkan pengungsi Kepulauan Cook. Kalau itu yang sebenarnya terjadi pengungsi Kepulauan Cook tidak usah pindah dulu.
Sedangkan Pemerintah Selandia Baru tidak terima pihak kepolisiannya dianggap tidak benar dalam bekerja. Sementara warga Selandia Baru pun terus meminta pihak pemerintah segera mengusir warga Kepulauan Cook.

O3 April 2009
          “BAKAR… Bakar… semuanya!”
Orang-orang yang mendengar suara itu segera keluar rumah. Dalam hati semua bertanya-tanya, ada apa? Tiba-tiba asap sudah mengepul dari sebuah rumah kosong. Nyala terang api membuat silau di tengah malam. Semua orang panik. Bingung.
“Selamatkan barang-barang berharga kalian!”
Penduduk pun tersadar dari kepanikan mereka dan langsung mengemas-ngemas pakaian dan mengambil barang berharga yang terjangkau. Suasana benar-benar rusuh. Tangisan dan teriakan menjadi satu.
“Tinggalkan tempat ini sekarang! DOR..DOR...DOR,”
Penduduk histeris.
DOR…DOR…DOR “Peringatan kedua!”
          Penduduk berbondong-bondong meninggalkan tempat tinggal mereka. Ada yang mencoba mengontak polisi dan pemadam kebakaran. Ternyata respon yang diterima mengecewakan. Akhirnya mereka sadar. Ini adalah perang antara pemerintah negaranya dengan pemerintah Selandia Baru, dan imbasnya adalah penduduk tak bersalah.

                                                *****

DuaRR!!
          Petir menyambar-nyambar. Kilat- kilat bermunculan. Awan-awan hitam yang ikut serta dalam suasana itu, mulai menjalar ke seluruh langit kelam. Menambah pekatnya suasana malam.
Nixie, ibunya, beserta penduduk Kepulauan Cook pergi ke hutan. Mereka harus mencari tempat aman sementara. Biarlah rumah mereka hancur. Toh, selama ini mereka memang cuma menumpang di negara orang.
Dari awal Ratu Elizabeth II sebenarnya tidak setuju dengan penawaran Pemerintah Selandia Baru saat terjadi tsunami di Kepulauan Cook dan sekitarnya. Tawaran baik memang. Tapi melihat kondisi negara tersebut yang mempunyai cap sebagai negara dengan tingkat kejahatan tinggi, Ratu Elizabeth II tidak ingin mengambil resiko rakyatnya terjadi apa-apa. Tapi, mereka berjanji untuk menjaga penduduk Kepulauan Cook dengan baik asal penduduk Kepulauan Cook taat pada peraturan dan berlaku baik. Ratu Elizabeth setuju.
     Di sana mereka diperlakukan baik-baik. Hak-hak mereka dipenuhi. Mereka diberi dana untuk membangun rumah. Sebelum mendapat pekerjaan, warga Kepulauan Cook mendapat jaminan makanan. Penjaga dari Kepulauan Cook juga ada. Mereka bekerja sama dengan keamanan setempat.
Para pengungsi sudah tinggal di sana kurang lebih selama tiga bulan. Entah ada permasalahan apa di pemerintahan sana, setiap ada kejadian kecil pasti dikaitkan dengan pengungsi dari Kepulauan Cook. Hingga kasus terakhir yang menyebabkan warga Selandia Baru pun menuntut pihak pemerintah untuk mengusir warga Kepulauan Cook dari negara ini.
Di tengah perjalanan, Ibunya yang telah mengalami luka bakar tidak kuat untuk berjalan dan mereka kehausan. Ibunya meminta Nixie untuk mencari sungai dan mengambil air dari sana. Ibunya tetap berada di situ. Akhirnya Nixie pergi sendiri.
Ketika perjalanan mencari sungai, ia telah menandai pohon yang ia lewati agar tidak tersasar. Setelah mendapat air, ia segera kembali ke tempat ibunya. Sewaktu ia sampai pada pohon terakhir tempat ibunya bersandar, ia tidak menemukan ibunya. Ia pun mulai panik dan khawatir.  
          Nixie menyusuri jalan dengan senter di tangan.  Ia melewati pepohonan yang menjulang tinggi seakan-akan seperti raksasa-raksasa yang siap menerkam siapa saja di tengah hutan belantara. Sementara cahaya bulan tak mampu menembus pekatnya malam. Tik… tik… tik… rintik hujan mulai ia rasakan secara perlahan.  
          “Oh, Ibu di mana kau berada?” bisiknya pelan.
          Rasa khawatir dan takut mulai menjalar ke seluruh tubuh mengikuti aliran darah. Bayangan-bayangan mengerikan pun berkelebatan dalam pikirannya dan cepat-cepat ia tepis. Semoga Tuhan selalu menjagamu Ibu, doanya dalam hati.
          Tiba-tiba, lambat laun terdengar suara isak tangis perempuan. Ia terkejut. Kemudian dipasang kembali telinganya dengan lebih jelas. Pelan, pelan, keras, kemudian pelan lagi. Ya, tangisan perempuan! yakinnya.
           Nixie mempercepat langkah mengikuti arah suara itu.
          Itukah ibu? Pikirnya menebak.
          Dadanya mulai berdetak tak tentu. Keringat dingin pun mulai menetes dari sekujur tubuhnya. Ya Tuhan, apa yang terjadi?        
          Langkahnya semakin dekat. Tangisan itu semakin jelas terdengar. Jantungnya semakin kencang berdetak. Keringat dingin semakin keras mengalir.
          Setelah sampai…
          Dia terhenyak melihat sosok itu. Sosok yang amat dia cintai dan sayangi.
          Bukan! Bukan terhadap gadis yang menangis itu. Tapi… tapi… sosok yang tergolek kaku tak berdaya dengan luka yang amat mengenaskan. Ya, itu…itu IBU!
          Anggota tubuhnya lemas seketika. Senter yang ditangannya jatuh menggelinding dan berhenti, membuat cahayanya menerangi jelas sosok itu. Dia menjatuhkan badannya dan terduduk di tanah basah yang di sekelilingnya tumbuh semak belukar dan rumput kecil bersama ranting-ranting yang patah. Tak sanggup dia bendung air matanya yang mulai meluncur hangat.
          “Ibu…” lirihnya.
          Gadis itu hanya menatapnya. Hujan yang semakin deras seakan tahu akan kesedihan hati ini. Inilah tangisan pertamanya di depan orang lain selain keluarganya. Pelan-pelan dia usap air matanya yang mulia menyusut. Ya… aku harus tegar.
          Kemudian Nixie menatap gadis itu. Mereka saling bertatapan. Ah, entah apa yang dipikirkan gadis itu terhadapnya.
          Nixie berusaha berbicara dengannya, meski suara tercekat dalam tenggorokan. Tanpa disangka, gadis itu berdiri dan bersiap untuk berlari meninggalkannya. Dengan sigap dia menarik tangannya.
          ”Tunggu!” teriakku.
          Serentak wajahnya menoleh ke arah Nixie sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman. Nixie pun semakin keras menggenggamnya.
          ”Siapa kau? Apa yang terjadi dengan ibuku? Tolong, berilah penjelasan...” wajahnya memohon. Sementara genggamannya mulai mengendur.
          Hening.
          “A...A...Aku Raoul. Yah kau bisa memanggilku begitu. Soal ibumu,...sebenarnya  aku juga tidak tahu. Ketika aku sedang melewati daerah ini, tiba-tiba terdengar suara minta tolong dan saat aku sampai...Ibumu sudah...pingsan,” wajahnya menunduk dalam. Terlihat benar ia sangat berat untuk mengatakannya. “Maaf...”
          “Tidak apa-apa. Meskipun demikian, terima kasih,”
          Kemuadian Nixie berusaha mengangkat jenazah Ibunya. Tapi, tubuhnya tidak terlalu kuat dan ia terhuyung-huyung hampir terjatuh.
          “Biar kubantu!” seru Raoul.
          “Sudahlah. Kau harus kembali. Tidak baik berada dalam hutan malam-malam seperti ini,”
          “Lalu kau mau kemana? Mungkin kau bisa ke rumahku,”
          “Maaf, aku tidak bisa. Nyawa kami bisa terancam. Kau pasti tahu kan berita akhir-akhir ini? Biarlah aku menuju kembali pada kelompokku. Mereka mungkin belum jauh. Jika kita ditakdirkan untuk bertemu suatu hari nanti, jangan lupakan aku. O iya namaku Nixie. Sampai jumpa...”
          Nixie berbalik. Ia berjalan sambil memapah ibunya. Sementara Raoul hanya menatap kosong pada bayangan Nixie yang semakin menjauh, sambil mengejek diri sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.        
                    

Comments

Popular Posts