Keluhan Sebuah Dinding
Seperti biasa Xio terlambat lagi. Dengan napas masih memburu, ia kembali meminta satpam membuka gerbang sekolah untuk yang sekian kalinya. Bahkan, kini tak hanya dia seorang. Ia diikuti oleh beberapa siswa lain. Mengapa jadi semakin buruk seperti ini?
Aku seperti biasa pula tetap berada di sini. Memperhatikan kelakuan anak zaman sekarang dari hari ke hari. Mereka sudah berani melawan guru. Tak peduli dengan pekerjaan rumah atau kejujuran saat ulangan. Tak heran juga sebenarnya karena guru-guiru di sini juga sering terlambat. Bahkan mereka yang menyuruh mereka bekerjasama saat Ujian Nasional berlangsung. Jadi seperti apa bangsa ini?
Lihatlah diriku. Oh, betapa malangnya! Cat pada tubuhku sudah banyak yang mengelupas. Banyak coretan pula. Coretan kreatif dari anak-anak. Aku yakin pihak sekolah tak akan peduli lagi padaku. Mereka sudah bosan mengecatku. Aku pasti akan kotor lagi. Padahal aku cukup berjasa bagi mereka semua. Ketika pelajaran berlangsung, dan hujan turun, akulah yang segera membawa payung untuk mereka. Melindungi. Atau pun saat siang hari dan mereka kepanasan, akulah yang memberi mereka tempat teduh. Apakah tak ada rasa menghargai dari mereka kepadaku? Walaupun hanya perhatian kecil seperti menjauhkanku dari noda goresan.
Anganku melayang, kembali pada saat-saat kejayaan sekolah ini. Semua murid disiplin, bermoral, dan berprestasi. Guru-gurunya pun penuh dedikasi. Huh… andai semua bisa seperti dulu.
Hujan turun rintik-rintik membuyarkan lamunanku. Aku hanya menatap kosong pada langit. Sekarang aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga keadaan ini tidak berlangsung lama dan akan ada seseorang yang datang mengubah segalanya menjadi lebih baik. Andai saja sesorang itu aku. Tapi itu adalah hal yang mustahil dan tak bisa kulakukan, karena aku hanyalah sebuah dinding. Dinding yang melindungi mereka dari hujan, atau panas matahari saat siang menjelang.
Jika ada seseorang yang bisa memberitahuku apa yang harus kulakukan sekarang…
Comments
Post a Comment